MENYAMBUT TAHUN BARU HIJRIAH 1430 / MASEHI 2009, GUNAKAN UNTUK MENGAGUMI KEBESARAN ALLAH SWT. JANGAN DIGUNAKAN UNTUK BERHURA-HURA, KARENA OTOMATIS JATAH UMUR KITA SUDAH TERLEWATI SATU TAHUN. UNTUK ITU REKREASI SAJA MELALUI PERJALANANKU.
PELESIR KE GUNUNG BROMO
Kali ini kami mengadakan pelesir ke gunung Bromo yang diikuti dua puluh orang. Dengan segala perlengkapan pelesir ke gunung yang sudah disiapkan mulai sarung tangan, kaos kaki, penutup kepala ala ninja, jaket, balsem dan lain-lain, rombongan berangkat tanggal 25-07-2008 pukul 19.45 wib.
Dari Probolinggo dengan menyusuri jalan yang terus menanjak dan berkelok-kelok dalam kegelapan rombongan tiba di pos 2 (Ngadisari) dan menemui rombongan pak Priyadi KPPN Bondowoso (yang dulu bertugas di KPPN Bojonegoro) sudah menunggu, dengan membawa oleh-oleh khasnya "tape Bondowoso".
Dari pos 2 Ngadisari kami menyewa tiga Hard Top untuk pelesir ke gunung Penanjakan dan ke gunung Bromo, Rp 275.000,- setiap Hard Top yang memuat enam orang pulang pergi. Dalam menyewa Hard Top tidak perlu tergesa-gesa, karena jumlahnya 130 unit dan dalam satu hari rata-rata dapat antrean satu kali mengangkut wisatawan yang pelesir.
Gunung Penanjakan
Perjalanan pelesir menuju Penanjakan dari Ngadisari kira-kira 20 kilometer, menyusuri lautan pasir dan tebing dengan jalan yang terus naik didalam kegelapan pagi. Tapi anehnya selama perjalanan sampai di puncak Penanjakan tidak ada kabut. Ya mungkin tanda kalalu alam kita sudah rusak. Sesampainya di puncak Penanjakan (suhu antara "02 sampai 20" derajat, dari berbagai sumber), bagi yang tidak membawa jaket bisa menyewa dan yang tidak membawa sarung tangan dan tutup kepala bisa beli langsung.
Di puncak Penanjakan inilah kita menunggu matahari terbit (sunrise), bersama wisatawan asing ditrap-trap tribun yang masih dalam pembangunan. Disini kita merasakan bersatu, berkumpul bersama orang berbagai bangsa dengan satu tujuan mengagumi, menikmati, mensyukuri ciptaan Allah SWT yang tidak ada tandingannya ini. Selain melihat sunrise, di Penanjakan yang punya ketinggian (2770m dpl} juga untuk melihat gunung Bromo, gunung Batok, gunung Kursi sebagai background terlihat gunung Semeru yang menjulang tinggi yang seriap 15 menit batuk mengeluarkan asap. Lokasi di puncak Penanjakan selain jadi rebutan wisatawan juga jadi rebutan oleh operator seluler untuk mendirikan antenna yang menjulang tinggi.
Gunung Bromo
Dari gunung Penanjakan selanjutnya turun kembali ke lautan pasir, untuk pelesir ke gunung Bromo kira-kira melalui lautan pasir sepanjang 2000 meter. Di lautan pasir tersebut dibangun Pura untuk upacara adat agama Hindu antara lain Kasada.
Bagi yang malas jalan kaki menuju gunung Bromo bisa menyewa kuda sekitar Rp 25.000,- sekali jalan. Selanjutnya naik anak tangga (bukan naik kuda) sekitar 250 jumlahnya. Di puncak gunung Bromo (2390m dpl) kita bisa melihat lautan pasir secara keseluruhan seluas kira-kira 5.200 hektar dan bisa melihat puncak gunung Penanjakan yang tadi kami injak.
Di gunung Bromo sudah tidak dingin lagi, seperti yang penulis rasakan pada tahun 1990. Kala itu dalam perjalanan (jalan kaki) badan sudah kedinginan dan hidung meler serta tersumbat. Kali ini harus melepas tiga jaket yang penulis kenakan, akhirnya malah repot bawa jaket. Jadi kalau hanya ke gunung Bromo pakai t-shirt saja, yang penting bawa sapu tangan untuk menutup hidung dan mulut dari debu lautan pasir campur kotoran kuda (seperti di Sarangan) yang berterbangan karena diaduk oleh kaki manusia dan kaki kuda.
Dari Probolinggo dengan menyusuri jalan yang terus menanjak dan berkelok-kelok dalam kegelapan rombongan tiba di pos 2 (Ngadisari) dan menemui rombongan pak Priyadi KPPN Bondowoso (yang dulu bertugas di KPPN Bojonegoro) sudah menunggu, dengan membawa oleh-oleh khasnya "tape Bondowoso".
Dari pos 2 Ngadisari kami menyewa tiga Hard Top untuk pelesir ke gunung Penanjakan dan ke gunung Bromo, Rp 275.000,- setiap Hard Top yang memuat enam orang pulang pergi. Dalam menyewa Hard Top tidak perlu tergesa-gesa, karena jumlahnya 130 unit dan dalam satu hari rata-rata dapat antrean satu kali mengangkut wisatawan yang pelesir.
Gunung Penanjakan
Perjalanan pelesir menuju Penanjakan dari Ngadisari kira-kira 20 kilometer, menyusuri lautan pasir dan tebing dengan jalan yang terus naik didalam kegelapan pagi. Tapi anehnya selama perjalanan sampai di puncak Penanjakan tidak ada kabut. Ya mungkin tanda kalalu alam kita sudah rusak. Sesampainya di puncak Penanjakan (suhu antara "02 sampai 20" derajat, dari berbagai sumber), bagi yang tidak membawa jaket bisa menyewa dan yang tidak membawa sarung tangan dan tutup kepala bisa beli langsung.
Di puncak Penanjakan inilah kita menunggu matahari terbit (sunrise), bersama wisatawan asing ditrap-trap tribun yang masih dalam pembangunan. Disini kita merasakan bersatu, berkumpul bersama orang berbagai bangsa dengan satu tujuan mengagumi, menikmati, mensyukuri ciptaan Allah SWT yang tidak ada tandingannya ini. Selain melihat sunrise, di Penanjakan yang punya ketinggian (2770m dpl} juga untuk melihat gunung Bromo, gunung Batok, gunung Kursi sebagai background terlihat gunung Semeru yang menjulang tinggi yang seriap 15 menit batuk mengeluarkan asap. Lokasi di puncak Penanjakan selain jadi rebutan wisatawan juga jadi rebutan oleh operator seluler untuk mendirikan antenna yang menjulang tinggi.
Gunung Bromo
Dari gunung Penanjakan selanjutnya turun kembali ke lautan pasir, untuk pelesir ke gunung Bromo kira-kira melalui lautan pasir sepanjang 2000 meter. Di lautan pasir tersebut dibangun Pura untuk upacara adat agama Hindu antara lain Kasada.
Bagi yang malas jalan kaki menuju gunung Bromo bisa menyewa kuda sekitar Rp 25.000,- sekali jalan. Selanjutnya naik anak tangga (bukan naik kuda) sekitar 250 jumlahnya. Di puncak gunung Bromo (2390m dpl) kita bisa melihat lautan pasir secara keseluruhan seluas kira-kira 5.200 hektar dan bisa melihat puncak gunung Penanjakan yang tadi kami injak.
Di gunung Bromo sudah tidak dingin lagi, seperti yang penulis rasakan pada tahun 1990. Kala itu dalam perjalanan (jalan kaki) badan sudah kedinginan dan hidung meler serta tersumbat. Kali ini harus melepas tiga jaket yang penulis kenakan, akhirnya malah repot bawa jaket. Jadi kalau hanya ke gunung Bromo pakai t-shirt saja, yang penting bawa sapu tangan untuk menutup hidung dan mulut dari debu lautan pasir campur kotoran kuda (seperti di Sarangan) yang berterbangan karena diaduk oleh kaki manusia dan kaki kuda.
ATAS KOMENTAR WINA, SAYA TAMBAH DUA FOTO.
1 komentar:
Lebih cantik lagi kalo foto-fotonya ditambah.
Posting Komentar